"Sebagai
dosen pengajar Universitas Indonesia, universitas negeri, pakaian resmi saya
ditentukan oleh negara. Baju resmi yang diperlukan untuk acara khusus seperti
Hari Kemerdekaan dan yang harus dikenakan setiap bulan tanggal 17 adalah
kemeja lengan panjang terbuat dari batik biru muda dengan garis pola biru tua
Korpri (Korps Pegawai Negeri) dengan sebuah gambar pohon beringin dicetak pada
hampir semua bagian kainnya. Pasangan kemeja ini celana panjang biru tua. Untuk
melengkapi seragam ini, di bagian kiri dada, saya sematkan pin Korpri (Korps
Pegawai Republik Indonesia) berbentuk pohon beringin. Sementara, untuk presiden
dan para menterinya, pin tersebut terbuat dari emas, yang bentuknya mengacu
elang mitis Hindu Jawa yang menjadi emblem nasional Indonesia: Garuda
Pancasila. Sebagai pelengkap terakhir,
banyak pegawai negeri yang senang mengenakan peci hitam. Ada dua macam
jenisnya. Yang lebih tinggi biasanya dipakai oleh pegawai golongan lebih tinggi
dan yang lebih rendah dikenakan oleh yang lebih rendah.
Umumnya, hanya
kalangan pemerintah resmi yang secara ketat taat aturan tersebut. Sementara,
kebanyakan pengajar universitas, khususnya di Jakarta, mengenakan pakaian
biasa, kemeja Barat dengan kancing leher terbuka. Amat menarik melihat para
pengajar yang tidak senang dengan aturan tadi dan menunjukkannya dengan tidak
memakai kemeja safari ketika itu diharuskan. Tetapi, biasanya penyimpang aturan
itu orang yang vokal mengritik kebijakan pemerintah. Mereka tidak mau
mengenakan harnas (istilah Belanda yang berarti baju zirah) sebab tak ingin
kehilangan kebebasan personalnya. "
Ini nukilan utuh isi catatan James Danandjaja From hansop
to safari dengan anak judul Notes from an eyewitness. Uraian ini
merupakan bagian akhir tulisannya, bagian yang lebih dekat waktu catatan
tersebut ditulis. Barang kali oleh karenanya, bagian ini ditulis lebih panjang
dari pada uraian sebelumnya: turban, kerudung yang rapat menyelimuti semua
bagian tubuh, baju muslim ala Timur Tengah yang jadi tren mulai tahun 1980-an
dan jaket-kemeja tanpa dasi-peci yang sudah tak lagi jadi simbol nasionalisme,
jaket kuning yang dihormati polisi sejak tahun 1966-67 karena jadi seragam
mahasiswa yang mendukung lahirnya Orde Baru namun sejak tahun 1974 kehilangan
prestisnya di kalangan mahasiswa yang mendukung ketelibatan mahasiswa lain
dalam peristiwa Malari, sandaleet Belanda yang tetap populer pada masa
perintahan Jepang tetapi akhirnya dilarang dipakai di kampus karena dianggap
indentik dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) atau HSI (Himpunan Sarjana
Indonesia) yang dianggap simpatisan PKI (Partai Komunis Indonesia), pemakai
dasi yang mulai hilang sejak masa pemerintahan militer Jepang, jas putih
penutup kemeja lengan panjang dengan dasi dan celana panjang katun putih yang
dikenakan pegawai kantor era pemerintahan Belanda pada tahun 1930-an, sarong
dan kebaya yang mulai dimodifikasi dengan pakaian Barat, sepatu tumit tinggi
yang dipakai perempuan dewasa waktu ke pesta dan selop dikenakan saat di rumah,
piyama hitam yang dipakai centeng para tuan tanah, serta kain pelekat yang
dipakai anak-anak Muslim kampung atau piyama putih sederhana yang dikenakan
bersama peci dan celana congklang yang biasa dikenakan orang-orang Betawi
Muslim.
Apa-apa yang dikenakan orang-orang dan kemungkinan mengapa
orang berhenti memakainya diceritakan bersama dengan momen-momen sejarah yang
dianggap penting.
Apa-apa yang diceritakan tersebut barang kali cara
berpendapat seseorang yang telah hidup di berbagai periode terhadap sejarah
Indonesia.
"Saya lahir di Jakarta tahun 1934 dari keluarga
kelas menengah peranakan Cina-Betawi. Orangtua saya mendapat pendidikan di
sekolah Methodist Inggris, Kristen Protestan yang dipelopori oleh Charles dan
John Wesley pada abad ke-18, bapak di Singapura dan ibu di Bogor, Jawa Barat. Bersama dengan dua saudara laki-laki, saya
masuk Sekolah Dasar Kristen Protestan Belanda.
Sebagai anak kecil di rumah, saya memakai satu stel
pakaian terusan model Eropa yang disebut hansop atau baju monyet, tanpa
lengan, tak ada kancing, potongan kaki pendek, hanya ada dua kancing di bahu.
Baju itu punya kantong yang dijahit di perut depan seperti kangguru."
Dari semua itu, saya tertarik dengan kutipan yang saya
pahami sebentuk sikap rendah hati orang yang mengalami banyak hal yang belum dialami
generasi yang lebih muda: dari baju monyet ke safari, tentang ke safari dari
baju monyet.
"Ketika usia makin beranjak tua, keinginan mengingat
masa lalu terasa lebih besar dari pada memimpikan masa depan. "
Tidak ada komentar:
Posting Komentar