Selasa, 22 Januari 2013

Ke Safari dari Baju Monyet: Catatan-catatan Saksi Mata, James Danandjaja



"Sebagai dosen pengajar Universitas Indonesia, universitas negeri, pakaian resmi saya ditentukan oleh negara. Baju resmi yang diperlukan untuk acara khusus seperti Hari Kemerdekaan dan yang harus dikenakan setiap bulan tanggal 17 adalah kemeja lengan panjang terbuat dari batik biru muda dengan garis pola biru tua Korpri (Korps Pegawai Negeri) dengan sebuah gambar pohon beringin dicetak pada hampir semua bagian kainnya. Pasangan kemeja ini celana panjang biru tua. Untuk melengkapi seragam ini, di bagian kiri dada, saya sematkan pin Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) berbentuk pohon beringin. Sementara, untuk presiden dan para menterinya, pin tersebut terbuat dari emas, yang bentuknya mengacu elang mitis Hindu Jawa yang menjadi emblem nasional Indonesia: Garuda Pancasila.  Sebagai pelengkap terakhir, banyak pegawai negeri yang senang mengenakan peci hitam. Ada dua macam jenisnya. Yang lebih tinggi biasanya dipakai oleh pegawai golongan lebih tinggi dan yang lebih rendah dikenakan oleh yang lebih rendah.

Umumnya, hanya kalangan pemerintah resmi yang secara ketat taat aturan tersebut. Sementara, kebanyakan pengajar universitas, khususnya di Jakarta, mengenakan pakaian biasa, kemeja Barat dengan kancing leher terbuka. Amat menarik melihat para pengajar yang tidak senang dengan aturan tadi dan menunjukkannya dengan tidak memakai kemeja safari ketika itu diharuskan. Tetapi, biasanya penyimpang aturan itu orang yang vokal mengritik kebijakan pemerintah. Mereka tidak mau mengenakan harnas (istilah Belanda yang berarti baju zirah) sebab tak ingin kehilangan kebebasan personalnya. "

Ini nukilan utuh isi catatan James Danandjaja From hansop to safari dengan anak judul Notes from an eyewitness. Uraian ini merupakan bagian akhir tulisannya, bagian yang lebih dekat waktu catatan tersebut ditulis. Barang kali oleh karenanya, bagian ini ditulis lebih panjang dari pada uraian sebelumnya: turban, kerudung yang rapat menyelimuti semua bagian tubuh, baju muslim ala Timur Tengah yang jadi tren mulai tahun 1980-an dan jaket-kemeja tanpa dasi-peci yang sudah tak lagi jadi simbol nasionalisme, jaket kuning yang dihormati polisi sejak tahun 1966-67 karena jadi seragam mahasiswa yang mendukung lahirnya Orde Baru namun sejak tahun 1974 kehilangan prestisnya di kalangan mahasiswa yang mendukung ketelibatan mahasiswa lain dalam peristiwa Malari, sandaleet Belanda yang tetap populer pada masa perintahan Jepang tetapi akhirnya dilarang dipakai di kampus karena dianggap indentik dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) atau HSI (Himpunan Sarjana Indonesia) yang dianggap simpatisan PKI (Partai Komunis Indonesia), pemakai dasi yang mulai hilang sejak masa pemerintahan militer Jepang, jas putih penutup kemeja lengan panjang dengan dasi dan celana panjang katun putih yang dikenakan pegawai kantor era pemerintahan Belanda pada tahun 1930-an, sarong dan kebaya yang mulai dimodifikasi dengan pakaian Barat, sepatu tumit tinggi yang dipakai perempuan dewasa waktu ke pesta dan selop dikenakan saat di rumah, piyama hitam yang dipakai centeng para tuan tanah, serta kain pelekat yang dipakai anak-anak Muslim kampung atau piyama putih sederhana yang dikenakan bersama peci dan celana congklang yang biasa dikenakan orang-orang Betawi Muslim.

Apa-apa yang dikenakan orang-orang dan kemungkinan mengapa orang berhenti memakainya diceritakan bersama dengan momen-momen sejarah yang dianggap penting.

Apa-apa yang diceritakan tersebut barang kali cara berpendapat seseorang yang telah hidup di berbagai periode terhadap sejarah Indonesia. 

"Saya lahir di Jakarta tahun 1934 dari keluarga kelas menengah peranakan Cina-Betawi. Orangtua saya mendapat pendidikan di sekolah Methodist Inggris, Kristen Protestan yang dipelopori oleh Charles dan John Wesley pada abad ke-18, bapak di Singapura dan ibu di Bogor, Jawa Barat.  Bersama dengan dua saudara laki-laki, saya masuk Sekolah Dasar Kristen Protestan Belanda.

Sebagai anak kecil di rumah, saya memakai satu stel pakaian terusan model Eropa yang disebut hansop atau baju monyet, tanpa lengan, tak ada kancing, potongan kaki pendek, hanya ada dua kancing di bahu. Baju itu punya kantong yang dijahit di perut depan seperti kangguru."

Dari semua itu, saya tertarik dengan kutipan yang saya pahami sebentuk sikap rendah hati orang yang mengalami banyak hal yang belum dialami generasi yang lebih muda: dari baju monyet ke safari, tentang ke safari dari baju monyet.

"Ketika usia makin beranjak tua, keinginan mengingat masa lalu terasa lebih besar dari pada memimpikan masa depan. "  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar