Jumat, 22 November 2013

Perspektif Sosiologi Klasik Kapitalisme-nya Marx dan Weber: Sebuah Catatan Ringkas



Tulisan ini tak lebih hanya merupakan sebuah ringkasan pengantar pokok persoalan dalam memahami sosiologi klasik, bahwa istilah klasik, yang secara sintaksis berfungsi sebagai atribut frase nominal dan secara semantis menunjuk arti yang lebih khusus, memiliki signifikasi ideologis selain sebagai istilah teknis akademis dan bahwa keduanya itu mewakili persoalan sejarah perkembangan ilmu sosiologi dan perkembangan masyarakat modern awal, khususnya Eropa dan Amerika. 


Akan tetapi, dalam pandangan yang kurang lebih ‘netral’,  keduanya tidak berada pada hubungan yang eksklusif (tertutup) dengan berpijak argumen bahwa teori sosiologi klasik selalu memuat kepentingan ideologis dalam melegitimasikan otonomi dan prestisnya sebagai disiplin ilmu yang independen. Kelihatan dari agumen ini, usaha untuk keluar dari kutub pemahaman bahwa disiplin ilmu ini memiliki fungsi praktis-ideologis dalam menjustifikasikan tatanan politik yang mapan –dengan demikian ideologi dipahami sebagai sebuah usaha untuk mengorganisasikan peran dan komitmen sosial bersama berkaitan dengan persoalan sosial politik dan ekonomi.  

Meski demikian,  keduanya toh berada konteks sejarah dan persoalan sejarah awal perkembangan masyarakat Eropa dan Amerika modern yang sama. Dalam satu bab kata pendahuluan studi karya Marx, Durkheim, dan Weber[1], Anthony Giddens menuliskan satu kutipan menarik pidato pengukuhan Lord Acton di Cambridge pada tahun 1895 yang mengemukakan keyakinan adanya suatu ‘garis bukti yang tampak’ yang membatasi abad modern Eropa dengan abad sebelumnya: bahwasanya, zaman modern menggantikan abad pertengahan bukan dengan ‘cara pergantian biasa’ tanpa syarat-syarat ketentuan yang sah:  

Tanpa digembor-gemborkan, zaman modern mendirikan orde baru yang didasari oleh suatu hukum inovasi yang terus melemahkan berlangsungnya kekuasaan kuno. Dalam masa-masa itu, Columbus menumbangkan gagasan-gagasan dunia dan memutarbalikan kondisi-kondisi produksi, kekayaan dan kekuasaan, dalam hari-hari tersebut Machiaveli membebaskan pemerintah dari pengekangan hukum, Erasmus mengalihkan arus ajaran lama dari alam duniawi ke saluran-saluran kristen, Luther memutus rantai kekuasaan dan tradisi pada mata rantai yang terkuat, dan Kopernikus menanamkan suatu kekuatan yang tidak terkalahkan, yang menandai kemajuan pada masa yang akan datang untuk selama-lamanya…. Jaman modern  merupakan kelahiran kehidupan baru; dunia berputar pada orbit baru yang ditentukan oleh pengaruh-pengaruh yang sebelumnya tidak dikenal orang[2].     

Acton berpendapat bahwa penghancuran orde tradisional Eropa merupakan sumber perkembangan ilmu sejarah. Dengan kutipan itu, Giddens mengawali pendapatnya bahwa bila renaissance menimpulkan ‘rasa peduli’ terhadap sejarah, revolusi industri Inggris (industrialisasi) –lah yang menyediakan kondisi-kondisi bagi munculnya sosiologi –tentu dengan tidak mengabaikan peran penting revolusi Perancis sebagai katalis bagi kedua perangkat kejadian yang rumit tersebut -revolusi industri Inggris dan renaissance maksudnya.

Kedua momen revolusioner ini pun dilihat secara berbeda dalam pandangan Karl Marx dan Max Weber. Ini secara eksplisit dapat dilihat pada perbedaan pemahaman atas kapitalisme. Namun, dalam tulisan ini saya hanya akan memaparkan keduanya bersama-sama dengan asumsi bahwa di dalamnya ada perbedaan dan kesamaan yang bisa ditarik pembaca dari sini.

Teori Kelas, Pandangan Materialis-Sejarah Marx dan Perubahan Masyarakat


“Pada tahap tertentu perkembangannya, tenaga-tenaga produksi material masyarakat menjadi bertentangan dengan hubungan-hubungan produksi yang ada atau –atau itu hanya sebuah istilah yuridis untuknya- dengan hubungan-hubungan hak milik di dalamnya mereka sampai saat itu bergerak. Dari bentuk-bentuk pengembangan tenaga-tenaga produktif, hubungan-hubungan ini sekarang berubah menjadi belenggu-belenggunya. Mulailah satu tahap revolusi sosial. Dengan perubahan dasar ekonomis, seluruh bangunan atas raksasa itu dijungkir-balikkan dengan lebih lambat atau lebih cepat[3].”

Demikian, Franz Magnis Suseno mengutip uraian karya Marx dan juga karyanya bersama Engels untuk mengawali gagasannya tentang bagaimana Marx menggambarkan mekanisme perubahan (revolusioner, kurang lebih) masyarakat dengan menekankan bahwa perubahan masyarakat merupakan akibat dinamika dalam basis (material) dan bukan dalam bangunan atas.

Basis atau ‘dasar nyata’ ini dipahami sebagai bidang produksi kehidupan material. Bidang ini ditentukan oleh tenaga produktif dan hubungan-hubungan produksi. Tenaga produktif terdiri dari unsur-unsur: alat kerja, manusia dengan kecakapan masing-masing dan pengalaman dalam produksi (teknologi) Dan, hubungan-hubungan produksi dapat dimengerti sebagai hubungan kerjasama atau pembagian kerja dalam struktur organisasional sosial produksi. Keduanya, ditentukan oleh perkembangan tenaga-tenaga produktif, dan berada di bawah tuntutan objektif serta prinsip efektifitas dan efisiensi produksi. 

Sedangkan, bangunan atas dimengerti sebagai proses kehidupan sosial politik spiritual. Unsur penting bangunan ini adalah tatanan institusional dan tatanan kolektif -atau  bangunan-atas ideologis dalam bahasa marxisme.  Tatanan institusional merupakan segala macam lembaga yang mengatur kehidupan masyarakat di luar bidang produksi seperti: organisasi pasar, sistem pendidikan, kesehatan masyarakat, lalu lintas, hukum dan negara. Sedangkan, tatanan kesadaran kolektif meliputi segala sistem kepercayaan norma-norma, dan nilai-nilai yang memberikan kerangka pengertian, makna, dan orientasi spiritual kepada usaha manusia –termasuk pandangan dunia, agama, filsafat, moralitas, nilai-nilai budaya, seni dan sebagainya.

Dengan pengandaian dominasi struktur kelas dalam masyarakat,  Marx mengajukan argumen bahwa bangunan atas ditentukan basis. Menurut Marx, hubungan-hubungan produksi dalam basis selalu berupa struktur-struktur kekuasaan, tepatnya struktur kekuasaan ekonomis. Hubungan-hubungan itu ditandai dengan kenyataan bahwa bidang produksi dikuasai oleh pemilik. Oleh karena itu, bangunan atas dipahami hanya memberikan legitimasi kekuasaan kelas atas. Dalam arti ini, kekuasaan politis dan spiritual masyarakat selalu mencerminkan struktur kekuasaan kelas-kelas atas terhadap kelas-kelas bawah dalam bidang ekonomi.

Hubungan-hubungan produksi dan sistem hak milik itulah yang menentukan terciptanya struktur kelas. Dalam hal ini, kelas dipahami sebagai golongan sosial dalam sebuah tatanan masyarakat yang ditentukan oleh posisi tertentu dalam proses produksi dengan pengertian bahwa ciri sebagai kelas baru terpenuhi secara sempurna apabila golongan itu juga menyadari dirinya dan memiliki semangat juang sebagai kelas. 

Menurut Marx, setiap kelas sosial bertindak sesuai dengan kepentingan yang ditentukan oleh situasi objektif: bahwa pemilik berkepentingan mencapai laba dan bertahan dalam persaingan di pasar bebas dan buruh berpentingan atas upah, pengurangan jam kerja, dan usaha untuk menguasai sendiri kondisi-kondisi pekerjaan mereka dan dengan demikian untuk mengambil alih pabrik tempat mereka bekerja dari kelas pemilik. Dapat ditarik satu pemahaman bahwa unsur-unsur penting dalam teori kelas Marx ini: pertama, peran struktural besar atas kesadaran dan moral; kedua, kepentingan kedua kelas tersebut secara objektif bertentangan; ketiga, jelas bahwa bagi Marx kemajuan dalam susunan masyarakat dapat tercapai melalui revolusi. Maka, seluruh pemikiran Karl Marx berdasarkan atas praanggapan bahwa pelaku utama dalam masyarakat adalah kelas-kelas sosial.  Pelaku-pelaku penggerak dinamisme masyarakat bukanlah individu, melainkan kelas sosial.

Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme-nya Weber


Untuk enam pound setahun anda dapat memanfaatkan seratus pound seandainya anda adalah orang yang bijaksana dan jujur
....
Mereka yang membelanjakan satu groat (empat pence) sehari dengan bermalas-malasan berberarti membayar kemalasan melebihi enam pound setahun yang senilai dengan seratus pound sehari
....
Mereka yang kehilangan lima shiling, tidak hanya kehilangan uang sejumlah itu, tetapi kehilangan seluruh keuntungan yang  bisa diperoleh dengan memutarkan uang itu dengan berusaha, dan pada saat dia telah tua sejumlah uang itu akan bisa bertambah cukup banyak[4].

Kutipan ini merupakan ungkapan Benjamin Franklin. Kutipan tersebut oleh Max Weber dipersandingkan (untuk dijadikan perbandingan) pernyataan Ferdinand Kurnberger dalam Picture of American Culture sebagai ungkapan iman kelompok Yankees: "Mereka membuat lilin dan ternak dari manusia." 

Kutipan Kurnberger ini digunakan Weber untuk menjelaskan konsep etos individu yang berpijak pada etika (prinsip-prinsip kebaikan) khusus. Dijelaskan lebih lanjut, pencarian uang dalam tatanan ekonomi modern sejauh dilakukan dengan cara-cara legal adalah hasil dan ekspresi kebajikan dan kecakapan dan panggilan, dan keduanya merupakan Alfa dan Omega etikanya Franklin. Pendapat ini berpijak pada pernyataan Franklin tentang dasar kepercayaannya:Lihatlah manusia yang tekun dalam pekerjaannya! Dia akan dihadapan raja-raja (Amsal 22:29).”    

Akan tetapi, Weber secara hati-hati tidak lantas menyatakan bahwa penerimaan secara sadar pedoman-pedoman etis induvidu, wirausahawan-wirausahawan atau pekerja-pekerja dalam usaha-usaha kapitalistik modern adalah suatu kondisi bagi berlangsungnya eksistensi kapitalisme. Ditegaskannya bahwa ekonomi kapitalistik adalah suatu kosmos raksasa tempat manusia dilahirkan dan menghadapkan dirinya kepada manusia, setidaknya sebagai individu dan sebagai suatu tatanan yang di dalamnya dia harus hidup.

Spirit kapitalisme kemudian dimengerti Weber sebagai tuntutan etis untuk berjuang dengan caranya sendiri menuju supremasi melawan dunia keseluruhan yang penuh dengan kekuatan-kekuatan perang yang saling berlawanan.

(Jogja, 18 Desember 2005)



[1] Giddens Anthony (Karmadibrata, Soeheba, penerj.), Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis terhadap karya tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, Jakarta: UI Press,1986, hlm. xiii.
[2]  Lord Acton: Lectures on Modern History (London, 1960), hlm.19.
[3] Suseno, Franz Magis, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan RevisionismeJakarta: Gramedia, 2000. hlm. 147; sementara uraian penjelasan selanjut mengacu pada hlm. 110-147.
[4] Autobiography (ed. FW Pine , Henry Holt, New York,1916), hlm.112. via Priyasudiarja, Yusup (pernj.), Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme Max Weber, Yogyakarta: Pustaka Promothea, 2003.hlm 77, acuan yang digunakan untuk menjelaskan pemikiran Weber selanjutnya dapat dilihat pada hlm.77-116.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar