Jumat, 20 April 2012

Putri-Putri Duyung yang Mendamba’ nya Mangunwijaya: Optimisme Buah Pengetahuan Manusia (Pasca-)Modern?


Berdenyar kepala saya setiap membaca baris demi baris kalimat dalam karya-karyanya, baik novel maupun tulisan-tulisan esainya. Sekilas, saya pikir kekuatan tiap karyanya hanya ada pada ide-ide filosofis, moral atau teologi agama saja. Hal itu memang sering menjadi tekanannya. Namun, ada hal lain yang bagi saya menarik: selera humornya yang kering, kenakalannya dalam membikin-bikin istilah, juga singkatan yang kemudian dijadikannya jargon, atau mempelesetkan suatu perkara dan mempertautkannya dengan hal lain dengan irama bunyi yang senada dengan gaya khas otak-atik gathuk kejawaan-nya yang kosmopolit. Seorang teman yang berfikir nakal menyebut hal ini ciri khas kosmopolitisme orang Jawa, Katolik, Mapan, dan Romo (pastor) lagi. Tetapi, dengan logika bening dan nalar yang terbuka ia menyajikan persoalan yang diangkatnya dengan sebuah renungan yang dalam. Dan, selalu saja kesan itu meninggalkan bekas yang cukup lama mengusik pikiran saya.

Yang hendak saya bagikan dalam tulisan ini, kesan saya terhadap karya revisi YB Mangunwijaya Manusia Pasca Modern Semesta dan Tuhan: Renungan Filsafat Hidup Manusia Modern (edisi revisi Putri Duyung yang Mendamba) terbitan Kanisius tahun 1999. Buku ini saya anggap istimewa karena ini buku pertama yang melengkapi dua bacaan saya: Burung-Burung Rantau (1993) dan Burung-Burung Manyar (1981) Waktu itu, saya masih menunggu datangnya titipan kumpulan esai dan komentar akademisi terhadap karya-karyanya: Menjadi Manusia Pasca Indonesia (1999).

Hal yang bagi saya amat berkesan pada tulisan yang diberi judul besar Manusia Pasca Modern Semesta dan Tuhan ini adalah optimisme yang dibangun dalam tulisannya, menanggapi arus perkembangan sains dan teknologi. Optimisme terhadap terang akal budi ini digambarkannya sebagai kekuatan progresif kereta modernisasi, katalis bagi perubahan dramatis warisan gerak-gerik renaisans: pergeseran dasar pengambilan rumusan kebenaran pengetahuan dari mata indera ke mata intelegensi dan kini malah keduanya.

Copernikus, Galileo, Darwin, Newton, Einstein dan para ilmuan jenius Barat lainnya telah memberikan jalan bagi proses itu. Namun, laju perubahan baru ini juga memberi guncangan yang berarti bagi kemapanan-kemapanan yang ada sebelumnya, termasuk moralitas keagamaan. Legitimasi kekuasaan religius diguncang, dan bilik-bilik kekuasaan monarki tradisional yang tersekat pintu-pintu besi dibuka lebar dengan harapan adanya emansipasi dan demokratisasi. Oleh kemajuan teknologi, peradaban negeri Eropa pun kemudian digerakkan oleh mesin-mesin industri dan asap cerobong pabrik. Begitu, kira-kira bunyi dari perubahan dramatis negeri Eropa pada abad 20-an. Lengkap cerita serunya, tentu dapat dibaca dalam buku-buku (pelajaran) sejarah dunia atau ensiklopedi sejarah bangsa-bangsa.

Perubahan yang dramatis itu digunakan Mangun untuk memberi terang gagasannya tentang religiositas baru manusia pasca modern, yang secara dewasa terbuka dalam menanggapi situasi yang serba baru dalam penghayatan agama, tradisi, adat, alam semesta serta dirinya sendiri dalam sejarah perkembangan bangsa  manusia. Sekularisasi dalam terang akal budi dimaknainya secara positif sebagai proses memperoleh sikap dewasa yang mengakui otonomi wilayah-wilayah pengetahuan serta aktivitas manusia menurut bidang dan tingkat mereka sendiri. Dengan demikian, ia menekankan keterbukaan kepada pluralisme. Namun, diakuinya juga bahwa nalar pun punya batas. Rasa dan kekuatan psikologis memberi sumbangan yang berarti dalam batas tertentu.

Bagi saya, nuansa tulisan ini berkebalikan dengan sinisme tulisan-tulisannya dalam Gerundelan Orang Republik atau Balada Becak, atau keprihatinannya dalam tulisan-tulisannya dalam Puntung-Puntung Rara Mendut. Namun, benang merah visi-visi kemanusiaan universalnya –kalau tak diplintir sebagai kosmopolit- nampak juga dalam roman-romannya: Romo Rahadi; Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa; trilogi novel sejarahnya: Lusi Lindri, Genduk Duku dan Roro Mendut; Durga Umayi, Balada Dara-dara Mendut, Burung-burung Manyar dan Burung-Burung Rantau. Oleh akademisi barat novel-novelnya dianggap melengkapi karya-karya Pram dalam menyajikan gambaran persoalan sejarah Indonesia pada masa kolonial maupun paska kolonial.

Kembali ke tulisan ini, optimisme merupakan antitesis terhadap pesimisme akan batas-batas kekuatan nalar, pengetahuan, teknologi, serta laju modernisasi yang dimotori oleh barat: Eropa dan kemudian Amerika yang memiliki sisi gelap terciptanya kesenjangan si kaya dan miskin, kerusakan ekologis, dsb. Namun, terbuka juga kemungkinan bahwa visi kemanusiaan universal ini didasari oleh keprihatinannya terhadap fragmentasi masyarakat Indonesia ke dalam fundamentalisme agama atau ideologi tertutup.

Namun, hal yang bagi saya amat penting dalam tulisan ini adalah bahwa optimisme ini tampaknya mengarah usaha penemuan dasar kekuatan legitimasi moral dan agama (revitalisasi moral dan agama) oleh terang akal budi (sains). Optimisme ini digerakkan oleh argumen (kembalinya) pengakuan atau peneguhan kebenaran ketuhanan agama –dalam bentuk baru- oleh karena penemuan batas baru kekuatan akal budi (sains dan teknologi).

Optimisme itu dirangkainya dengan metafor putri-putri –ia menekankan sifat-sifat genus femininum ibu: melindungi, memelihara, memberi hidup dsb- duyung yang mendamba….pangeran yang mengajaknya hidup di negeri manusia.

Hiks-hiks-hiks, dalam hidup saya para pangeran nampaknya lebih asyik ngecengi cewe-cewe mall yang ke kampus, tuh Mo!  Dan, saya…kelakuan saya….

(Jogja, 21 April 2005)

2 komentar:

  1. mo nanya ini bukunya bli dimana ya?
    saya pengen banget bacanya

    trims

    BalasHapus
  2. Buku itu mungkin sekarang jarang ada di rak toko-toko buku.
    Punya saya foto kopian dari perpustakaan sekolah.
    Kalo berminat beli, silakan mampir ke Kanisius Jl. Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta!
    Kalo tertetarik membaca, mampir saja ke Perpustakaan Kolese St. Ignatius Jln. Abubakar Ali 1 Yogyakarta atau Perpustakaan Pusat UAJY Jl Babarsari no.44 Yogyakarta! Itu yang saya tahu.

    BalasHapus