Rabu, 28 Maret 2012

Logika Pasar dan Manusia Seri



"Legitimasi masyarakat modern tergantung pada dua hal: kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi. Bila gagal memberikan dua hal itu, masyarakat itu kehilangan hormat dan kesetiaan dari warganya"

(E Gellner, 1998)

*
Rumusan itulah yang dijadikan sebagai sasaran Dr Haryatmoko SJ dalam tulisannyaBudaya Baru:Logika Pasar Menjadi Dominan.

“Apa salahnya?”tanya seorang praktisi media,”Adakah yang salah bila institusi media menggunakan logika itu karena jelas landasannya adalah profit?”

Dalam masyarakat yang demikian, ditanyakannya pula,” Apakah benar kami melulu melayani pemodal? Kami toh justru mengutamakan mutu pelayanan kepada masyarakat. Jika rating naik, oplah naik, iklan akan datang.”

Itu dijawabnya demikian (Haryatmoko, 2007: 73):

Ini kutipan dari tulisan Etika Komunikasi yang dibukukan oleh (Penerbit dan Percetakan) Kanisius. “Ini sekalian iklan” katanya terkekeh.

Betapa pun, prioritas diarahkan kepada orientasi keuntungan, suatu media masih tetap membutuhkan legitimasi yang hanya didapat bila ada manfaat dari publik. Jadi, tidak sepenuhnya benar pernyataan bahwa media di bawah kontrol pemerintah hanya melayani pemerintah dan media swasta hanya melayani kepentingan pemodal.

Ada tiga hal alasan dasarnya (Curran, 2000: 125):
Pertama, media swasta butuh mempertahankan kepentingan audiens supaya tetap menguntungkan. Kedua, mereka harus mendapatkan legitimasi publik untuk menghindari sanksi masyarakat. Ketiga, mereka dapat dipengaruhi oleh keprihatinan profesional dari staf redaksi atau produksi.      

 “Setuju?”

“Ya!” sahut pelan pak praktisi media cetak yang tadi mengajukan pertanyaan sanggahan.

”Paling tidak, dalam hal ini kita damai, ya?” timpalnya sambil terkekeh.

Gerrrr...! Audiens riuh ikut-ikut tertawa.
**
“Ada lagi satu anekdot untuk seorang CEO perusahaan yang bangkrut!” katanya” Kelly namanya.”

Kelly waktu SMA sudah punya jiwa bisnis yang tinggi. Suatu ketika, ia punya uang 500 dollar. Di jalan, ia bertemu seorang petani yang menuntun keledai. Dia melihat untung sekaligus bisa menolong petani itu.

“Boleh saya beli keledai Bapak seharga 500 dollar?” tanyanya” dengan uang ini, Bapak bisa mengembangkan usaha pertanian!”

“O, boleh! Tapi, ini akan saya serahkah besok Minggu pagi. Hari ini, keledai ini harus saya pakai di ladang.”
   
Uang diserahkannya kepada petani itu. Esoknya, datanglah petani itu: tanpa keledai.
Katanya,”Wah, maaf, Pak! Keledainya mati!”

“Kalau begitu, uang saya tolong kembalikan!”

“Wah, ngga bisa, Pak! Uang itu sudah saya pakai untuk beli pupuk!”

“Gimana, nih!? Ngga bertanggung jawab namanya! Ya sudah, bawa ke sini keledai mati itu!”

“Untuk apa, Pak?”

“Ya, terserah saya. Toh, keledai itu sudah saya beli. Tolong, masukan keledai itu dalam peti yang bagus!”

“Oke!” sahut petani itu.

Pulanglah petani itu, dan beberapa waktu kemudian kembali dengan sebuah kotak kayu.

“Untuk apa sih, Pak?” tanyanya masih belum mengerti.

“Sudahlah, diam saja! Keledai mati sudah saya beli dan kamu tidak saya tuntut, masih juga tanya-tanya!”

Setelah itu, tersiar kabar bahwa Kelly telah membeli seekor keledai. Oleh Kelly, keledai itu kemudian dibuatnya lotere seharga 2 dollar. Promosinya,”Dua dollar dapat keledai! Dua dollar dapat keledai!” Lotere itu laku 1000 karcis akhirnya. Jadi, Kelly dapat 2000 dollar.

Selang hari berikutnya, petani itu datang, dan bertanya,”Untuk apa keledai itu?”

“Ya, saya buat lotere.”

“Apa orang-orang ngga protes?”

“Engga!”

“Dari 1000 orang, ngga ada yang protes?”

“Cuma satu yang protes: pemenangnya! Ya, saya kembalikan uang 2 dollarnya!”

Dikatakannya, sistem ekonomi yang terisolasi seperti itulah yang dikritiknya: sistem ekonomi yang membuat orang tidak bisa melawan. 999 orang itu manusia kalah. Dan, oleh Sartre, pemenang lotere itu disebut manusia seri: manusia yang toh tidak bisa melawan!

Masalahnya, saya tak tahu siapa Si Sartre: teman Kelly ato kenalan Romo Haryatmoko? Maaf, saya bahkan tidak tahu banyak soal ketiganya!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar